Menjaga Warisan, Merayakan Keberagaman Lewat Wayang Potehi
Surabaya – Komunitas Seni Budaya Indonesia yang baru saja dibentuk oleh Rasmono Sudarjo menggelar acara bertajuk “Nyeni Budaya Bareng Yuk!” di Kelenteng Hong Tiek Hian, Jalan Dukuh 23, Surabaya, pada Sabtu, 24 Mei 2025.
Acara yang juga diadakan dalam rangka memeriahkan Hari Jadi Kota Surabaya ke-732 ini terbuka bagi siapa saja yang mencintai seni dan budaya.
“Dalam kegiatan ini, kita bisa ngobrol santai soal wayang potehi, memotret pertunjukannya, melukis, atau menyeket. Yang penting, suasananya guyub, aman, dan nyaman,” ujar Rasmono di sela kegiatan.
Salah satu sorotan utama adalah pertunjukan wayang potehi, seni pertunjukan boneka tradisional Tionghoa yang kini semakin langka namun tetap memikat. Sebagai narasumber, hadir Sukar Mudjiono, dalang senior yang telah lama mendedikasikan diri pada kesenian ini.
“Acara ini gratis dan dirancang sebagai ruang inklusif bagi siapa saja yang ingin mengekspresikan kecintaan pada budaya dengan cara yang menyenangkan,” lanjut Rasmono. Ia juga berharap kegiatan ini bisa menumbuhkan apresiasi seni tradisional, khususnya di kalangan generasi muda.
Wayang potehi di Kelenteng Hong Tiek Hian telah menjadi bagian dari tradisi sejak tahun 1960-an. Pertunjukan berlangsung rutin setiap hari pukul 09.00–11.00 WIB, bukan hanya menjelang perayaan Imlek. Selain sebagai hiburan, pertunjukan ini juga memiliki nilai spiritual, seperti menyampaikan doa dan rasa syukur kepada para dewa serta leluhur.
Menariknya, wayang potehi tidak hanya mengangkat kisah-kisah dari Tiongkok, tetapi juga mengadaptasi cerita sejarah Indonesia, mencerminkan akulturasi budaya yang kaya dan mendalam.
Kelenteng Hong Tiek Hian sendiri merupakan bangunan bersejarah yang berdiri sejak 1293, pada masa awal kejayaan Majapahit. Didirikan oleh pasukan Tar-Tar di bawah pemerintahan Kubilai Khan, kelenteng ini menjadi saksi perkembangan Kota Surabaya selama lebih dari tujuh abad.
Terletak di kawasan Pecinan Surabaya, kelenteng ini melayani tiga ajaran sekaligus—Buddha, Tao, dan Khonghucu. Ornamen klasik, altar suci, dan hiolo masih terjaga keasliannya hingga kini, meski telah beberapa kali direnovasi. Gapura merah menjulang dan arsitektur khas Tionghoa menjadikannya ikon kawasan yang tak tergantikan.
Masyarakat setempat lebih mengenalnya sebagai Kelenteng Dukuh, karena lokasinya yang berdekatan dengan Jembatan Merah di Jalan Dukuh, Nyamplungan, Kecamatan Pabean Cantikan, Surabaya. (Red)

