Perkumpulan HTK Gelar Bedah Novel ‘Tjong’ Diangkat dari Kisah Nyata, Warga Hakka Berkontribusi Perjuangan Bangsa Indonesia

Perkumpulan Hwie Tiauw Ka (HTK) Surabaya menggelar acara menarik, yakni Bedah Buku Novel ‘Tjong’ diangkat dari kisah nyata kehidupan Tjong Kie Lin (张继粦) kelahiran Desa Fu Yim Tong, Kabupaten Moiyen, Provinsi Guangdong, Tiongkok, yang akhirnya menetap di Yogyakarta.

Kegiatan digelar di Gedung Serba Guna HTK, tepat pukul 10 siang hingga selesai, pada Minggu 21 Mei 2023. Dihadiri anggota, pengurus Perkumpulan HTK, Prof. Anita Lie, akademisi dan lainnya.

Bertindak selaku pembedah buku novel adalah Profesor Esther Kuntjara. Juga menghadirkan Dr Satrijo Tanudjojo putra mendiang Bapak Tjong Kie Lin, dan penulis novel Herry Gendut Janarto.

Lie Wiliani Wakil Ketua Perkumpulan Hwie Tiauw Ka Surabaya membuka kegiatan, mewakili Ketua HTK Jayapranata yang berada di Medan dan menitip salam hangat untuk pembicara serta seluruh hadirin.

“Bapak Tjong Kie Lin adalah keturunan Hakka yang semasa hidupnya turut memberi warna dan kontribusi yang nyata kepada Negara Indonesia tercinta ini,” ujar Lie Wiliani dan mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas terselenggaranya acara.

Hady Sutris Winarlim, M.Sc, Wakil Ketua Pelaksana Harian HTK, menyampaikan bedah novel ini untuk mengetahui perjuangan yang dilakukan mendiang Bapak Tjong Kie Lin.

Hady SW, Lie Wiliani, Elisa C, Prof Esther, Satrijo T, dan Herry Gendut Janarto

“Beliau turut mempertaruhkan nyawa mendukung gerilyawan melawan penjajah di Yogyakarta,” ujarnya.

Elisa Christina, B.A, M.A, M.Pd bertindak sebagai moderator, meminta warga Hakka maupun masyarakat luas bisa memiliki dan membaca buku novel Tjong.

“Semangat Hakka yang dimiliki mendiang Bapak Tjong Kie Lin bisa menjadi inspirasi,” terang Elisa yang mengaku berlinang air mata saat membaca buku novel dengan tutur kata yang sangat bagus.

Sementara itu, Profesor Esther Kuntjara dari Petra Christian University (PCU) menjelaskan secara detail tentang novel tersebut.

“Bapak Tjong Kie Lin memiliki 12 anak. Beliau pekerja keras, ulet dan jujur. Melibatkan keluarga untuk menikmati keberhasilan usaha. Menolong putra putranya dan mendorong cucu untuk terus mencari ilmu,” terang Esther.

Dr Satrijo Tanudjojo yang memiliki ide menovelkan ayahnya untuk berbagi kepada generasi muda, khususnya anak cucu.

Herry Gendut Janarto lahir di Yogyakarta dan ahli menulis biografi yang diterbitkan Gramedia. Sudah belasan buku karyanya.

“Novel Tjong bisa terwujud atas bantuan banyak teman, juga melalui pengumpulan data dan informasi,” ungkapnya.

Pada akhir acara, pengurus HTK menyerahkan kenang-kenangan, kemudian foto bersama, dan makan siang.

pemberian kenang-kenangan

Berikut pengantar yang ditulis Herry Gendut Janarto di sampul belakang novel Tjong.

“Dengan penuh semangat dan keberanian, Pak Tjong mempertaruhkan nyawa demi mendukung perjuangan para gerilyawan di Yogyakarta. Kami sungguh menghormati beliau sebagai pejuang kemerdekaan…”

Sejak balita Tjong Kie Lin telah menempuh beribu-ribu kilometer di sepanjang alur hidupnya hingga akhir, saat ajal menjemput.

Langkah pertama kaki mungilnya dia awali dari pelosok Desa Fu Yim Tong, Kabupaten Moiyen, Provinsi Guangdong, Tiongkok, lalu di masa bocah ke Desa Xían Lo Fu di kabupaten dan provinsi yang sama, dan di kemudian hari berujung di Kota Yogyakarta, Indonesia.

Betapa itu merupakan lawatan yang sangat panjang begitu jauh, penuh liku dan debu, sarat hempasan gelombang samudra dan tamparan angin bertubi yang sudah barang tentu amat melelahkan.

Dengan gagah berani dan deras berkeringat sedari usia remaja, rute ke selatan itu dia tapaki, seberangi, jelajahi, dan akrabi.

Akhirnya, di Kota Yogyakarta itulah dia mencanangkan diri guna menghimpun sebuah keluarga, utamanya membesarkan anak-anak.

Juga, tentu, kota terakhir yang dia singgahi itu telah menjadi wadah terbaik untuk mencari nafkah dan menjaring rezeki, melalui sebuah toko yang dia miliki dan kelola sebagai sumber penghidupan.

Di tengah segala keriuhan hidupnya, Kie Lin tetap ingat bumi tempat dia berpijak, mencari rezeki, menghimpun keluarga, dan merangkul sahabat pun saudara.

Dengan tulus ikhlas dia turut memberikan sumbangsihnya manakala Yogyakarta, kota yang dicintainya, tengah berjuang menghadapi penjajah yang ingin menguasainya, mencederainya.

Bukan dengan memanggul senjata, tetapi dengan dukungan bagi perjuangan para pemuda pembela bangsa. Dalam senyap dan tanpa jemawa, dia sediakan bagian rumahnya untuk mereka, terutama yang terluka.

Di Yogyakarta, tak salah lagi, kehidupan Keluarga Tjong menemukan akarnya. (Red)