Pakar Komunikasi Unair : Perubahan Zaman Banyak Media Cetak Berhenti Terbit

Belum lama ini, penerbit Kompas Gramedia (KG) mengumumkan berhentinya empat produk media cetaknya, yakni; Majalah Bobo Junior, Majalah Mombi, Majalah Mombi SD, dan Tabloid Nova.

Pakar komunikasi Universitas Airlangga Dr Suko Widodo Drs MSi menilai fenomena ini merupakan hal yang normal, utamanya di zaman serba digital seperti sekarang ini.

“Jadi, itu (berhentinya penerbitan media cetak, Red) hal yang lumrah, perubahan media,” tuturnya, Rabu (28/12/2022).

“Penutupan majalah itu adalah konsekuensi dari perubahan zaman, perubahan akibat teknologi informasi. Jika di mana silam itu sifatnya manual, sekarang sudah menjadi digital,” ungkapnya dosen Departemen Komunikasi Unair itu.

Suko menjelaskan bahwa saat ini media massa memasuki generasi ketiga yang ditandai dengan menurunnya penggunaan kertas di industri media massa.

Generasi pertama, lanjutnya, terjadi pada abad 17-18 dengan munculnya media cetak berupa koran. Sedangkan, generasi kedua terjadi dua abad setelahnya di mana mulai muncul media broadcast berupa radio dan televisi.

“Sekarang itu pada level internet. Generasi ketiga ini cenderung online. Ketika generasi ketiga online ini maka terjadi paperless (tidak ada penggunaan kertas),” terangnya.

Hal ini menyebabkan tidak adanya konektivitas antara kultur industri media cetak dengan masyarakat informasi di zaman ini.

Digitalisasi sekarang ini membuat banyak orang malas membaca buku atau koran sebab mereka bisa memperoleh informasi dengan bobot yang sama hanya dengan bantuan gadget.

Selain itu, produk media cetak juga dianggap memakan tempat, sehingga dicap tidak praktis oleh masyarakat.

Guna menghadapi selera konsumsi masyarakat yang terus berubah, Suko menyarankan agar industri media cetak mampu bermetamorfosa dalam menyajikan produk jurnalistiknya.

“Kalau mau penerbitan itu eksis, maka mau tidak mau ia juga harus bermetamorfosa ke dalam bentuk online. Jadi, munculkan konten kreator dan desain-desain digital. Dimetamorf sehingga jadi virtual,” jelasnya.

Pola adaptasi ini, terang Suko, telah dipraktikkan oleh The New York Times sejak tahun 2015.

“Sejak 2015, The New York Times sudah menempatkan (produk, Red) digital sebagai yang utama sekarang. Kalau sudah online, digital kan, nggak perlu pakai cetak. Nggak apa-apa,” ungkap Suko.

Terakhir, ia juga menyarankan agar industri media mampu melakukan perubahan pengelolaan konten dengan semakin mempercepat proses pengunggahan konten.

“Kalau dulu majalah mungkin butuh seminggu harus cetak, kalau koran butuh 24 jam baru cetak, maka sekarang ini lebih cepat dibanding koran agar tidak tertinggal dengan media lain,” tutupnya. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *