Jemparingan Olahraga Tradisional Dimainkan Sejak Zaman Kerajaan Mataram

Menyebut kata Jemparingan, mungkin tak banyak yang tahu. Begitu pula jika melihat aksi olahraga ini. Kebanyakan orang akan menyebutnya sebagai panahan.

Jemparingan memang tak populer di masyarakat. Padahal, olahraga tradisional ini sudah ada sejak lama.

Karena itu pula, Dinas Kepemudaan, Olahraga dan Pariwisata (Disporapar) Jawa Tengah mengajak pegiat event, guru olahraga dan pengelola objek wisata, mengenal jemparingan.

Sedikitnya 50 orang mendapat pelatihan singkat jemparingan di Omah Alas, di Desa Wisata Kandri, Gunungpati-Semarang, Sabtu (21/5/2022).

Maestro jemparingan asal Solo, Edy Roostopo didaulat menjadi pelatih bersama Agung Sumedi. Ia pun mengapresiasi kegiatan itu karena jemparingan perlu dipopulerkan kepada masyarakat.

Selain melestarikan budaya Jawa, jemparingan juga bisa menjadi batu loncatan menuju olahraga panahan modern.

“Jemparingan itu mementingkan rasa. Nah ketika sudah bisa menguasai jemparingan, mau pindah ke cabang panahan modern bisa. Olahraga ini juga memberikan rasa fokus dan ketenangan,” sebutnya, di sela-sela kegiatan.

Olahraga jemparingan termasuk olahraga murah, jika dibandingkan dengan panahan modern, satu set alat jemparingan (busur dan anak panah) dapat diperoleh dengan harga Rp1,2 juta. Sementara, alat panahan modern harganya di atas Rp5 juta.

“Di Solo Raya ada 57 klub jemparingan, kalau di DIY ada 60 klub. Saat ini perkembangannya luar biasa. Harapannya olahraga ini bisa digeluti siswa siswi sekolah dasar,” imbuh Edy.

Edy mengatakan jemparingan merupakan olahraga panahan yang telah ada sejak zaman Kerajaan Mataram. Permainan ini berasal dari kata jemparing atau anak panah.

Olahraga jemparingan sangat mirip dengan panahan modern. Namun, ada perbedaan yang mendasar, yakni pada posisi membidik. Jika panahan modern dilakukan secara berdiri, jemparingan dengan lenggah (duduk) bersila atau bersimpuh bagi perempuan.

Saat berlatih jemparingan, peserta pria biasanya memakai surjan lengkap dengan jarik, plus ikat kepala. Sedangkan perempuan biasanya memakai kebaya.

“Dulu setelah 1960-an, olahraga ini dimodifikasi jadi posisi busur agak miring. Kalau yang asli itu, posisi panah horizontal kemudian menarik busur dari dada atau manah yang berarti hati,” jelasnya.

Sub Koordinator Seksi Olahraga Rekreasi dan Industri Olahraga Disporapar Jateng Anton Asviani mengatakan, pelatihan tersebut dilakukan untuk menggelorakan wisata olahraga. Hal itu tak lepas dari potensi sport tourism yang dapat dikembangkan di penjuru Jawa Tengah.

Ia menyebut, terdapat event sport tourism di Jateng yang bersifar masif. Seperti Borobudur Marathon atau Tour De Borobudur, yang sekaligus memunyai manfaat ekonomi tinggi.

“Sport tourism (wisata olahraga) di Jawa Tengah potensinya besar. Inisiatif kami agar orang yang mau berwisata mau datang karena ada sesuatu yang unik, satu di antaranya olahraga tradisi jemparingan,” ucap Anton.

Menurutnya, di Jateng banyak terdapat olahraga tradisi. Seperti jemparingan, egrang, dan sebagainya, yang dapat dibungkus sepaket dengan kunjungan destinasi wisata.

“Inisiatif kita untuk angkat olahraga tradisional, karena potensi alam di sekitar bisa dibikin alat olahraga. Seperti gendewa (busur) jemparingan dari bambu petung. Itu bisa jadi suvenir olahraga dan suvenir pariwisata. Bisa juga dijadikan paket wisata,” urainya.

Seorang peserta dari Ikatan Guru Olahraga Nasional (Igornas) Angga Raditya bersyukur dapat mengikuti latihan tersebut. Ia akan menularkan ilmu yang didapat kepada murid-muridnya.
Sementara itu, Pengelola Omah Alas Masduki berharap agar olahraga jemparingan dapat dikembangkan sebagai atraksi wisata. (Red)