Amad berdarah Tionghoa Arab ini merupakan anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan Batalyon A36 Poncowati. Ia berjuang bersama Bung Tomo mempertahankan Surabaya pada 10 Nopember 1945.
Amad mengaku sebagai pelaku pembobolan gudang senjata Jepang Don Bosco Surabaya bersama Moekari. Amad juga menjadi salah satu saksi terbunuhnya Jendral Malaby di Jembatan Merah Surabaya.
Pria kelahiran 7 Februari 1922 ini terlibat penurunan bendera di Hotel Yamato bersama arek arek Surabaya.
Amad menceritakan bahwa pejuang dari suku Tionghoa sangat banyak kala itu. “Mereka datang dari Blitar, Malang dan sebagainya untuk bertempur mempertahankan Surabaya,” ujar putra pasangan Nyah Moi dan Muhammad Bindusu dari Yaman.
Masih teringat jelas, ketika sekutu menyerbu Surabaya dan terjadi pertempuran sengit di depan gedung Siola. “Saat itu kami berada di atas gedung Siola dulu namanya Toko Chiyoda dan Bung Tomo memerintahkan turun bertempur. Banyak yang meninggal,” ujar Amad yang mengaku masih ingat satu persatu teman pejuang Tionghoa. Bahkan pernah mendatangi rumah mereka untuk silaturahmi.
Saat menjadi prajurit, Amad juga menolong banyak orang termasuk peristiwa di Nganjuk. Salah satu anak Tionghoa yang ditolongnya kala itu, hingga kini masih berhubungan erat. Bahkan setiap bertemu Amad selalu menangis mengingat peristiwa tragis tersebut.
Kisah Amad yang kini berusia 100 tahun sebagai pelaku dan saksi sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia sedang dalam proses penulisan oleh Djoko Pitono yang banyak menulis biografi tokoh Indonesia, salah satunya Alim Markus yang ditulis dalam bahasa Jepang.
Djoko Pitono mengakui sosok Amad sangat langka, satu dari saksi hidup yang bersama Jenderal Soedirman dan menjalani revolusi fisik yang aktif.
“Sayangnya beliau tidak punya catatan, beruntung banyak temannya yang bisa cerita bagaimana Pak Amad ini,” jelas Djoko Pitono saat pertemuan bersama pengurus Yayasan Senopati dan Amad di kantor Disway, Jumat (1/4/22).
Masih keterangan Djoko Pitono bahwa kehidupan Amad lebih banyak bertempur membela bangsa dan negara. Djoko Pitono mengapresiasi banyak pihak salah satunya Yayasan Senopati yang turut memikirkan bagaimana mengabadikan kisah Amad.
“Walau ada YouTube pengabadian secara tertulis itu penting, karena akan diwariskan kepada generasi yang akan datang,” ujar Djoko Pitono yang berburu dengan waktu untuk penulisan kisah Amad.
Djoko Pitono pun mengaku berulang kali menanyakan kisah heroik Amad, karena tidak ada catatan maupun dokumen. Djoko akan menggali kepada banyak pihak agar tidak salah dalam penulisan, karena berkaitan dengan sejarah.
“Tentu kita harus berhati hati menulis sebuah buku kesaksian,” ujarnya dan penulisan buku pun sudah dimulai beberapa bulan lalu.
Buku kisah Ahmad pun mendapat dukungan besar dari Yayasan Senopati yakni Rasmono Sudarjo bersama Liong Pangkiey Pong yang bertemu langsung dengan Amad dan Djoko Pitono.
“Kita mengadakan pertemuan persiapan untuk membuat kisah yang menceritakan perjuangan Pak Amad sebelum kemerdekaan dan waktu kemerdekaan. Sekarang beliau berusia 100 tahun perlu kita rekam pengalaman sebagai saksi hidup sejarah. Hari ini baru persiapan masih perlu menggali berbagai sumber termasuk teman yang pernah berjuang yang masih hidup maupun yang sudah meninggal yakni pewarisnya,” jelas Rasmono Sudarjo. (Red)