Tim peneliti ITS dari Pusat Penelitian Mitigasi, Kebencanaan, dan Perubahan Iklim (MKPI) ITS merumuskan konsep hybrid hunian sementara (huntara) dan hunian tetap (huntap) pascabencana Gunung Semeru.

Hal itu dibahas dalam diskusi yang diadakan secara daring, beberapa waktu lalu. Kepala Pusat Penelitian MKPI ITS Adjie Pamungkas ST MDevPlg PhD mengatakan diskusi tersebut untuk memberikan solusi permukiman kembali (resettlement) pascabencana erupsi Gunung Semeru.

Diskusi dihadiri beberapa peneliti dari ITS, di antaranya Johanes Krisdianto ST MT dan Wahyu Setyawan ST MT dari Departemen Arsitektur, Bambang Piscesa ST MT PhD dari Departemen Teknik Sipil, dan Kesumaning Dyah Larasati ST MArs selaku asisten peneliti di MKPI.

Dalam diskusi, diusulkan sebuah konsep hybrid hunian sementara (huntara) dan hunian tetap (huntap). Hal ini dilakukan menghindari potensi konflik akibat delay yang kerap terjadi pada saat pembangunan huntara maupun huntap.

Selain itu, konsep modular tahan gempa dan abu vulkanik juga bisa diterapkan untuk fasilitas umum, seperti kantor desa, sekolah, puskesmas, dan lain sebagainya.

Menurut Wahyu, masyarakat desa harus responsif dan resilien terhadap bahaya bencana di kaki Gunung Semeru. Implementasi konsep resettlement, masyarakat desa di kaki Gunung Semeru diharapkan dapat berpartisipasi dalam pemulihan pascabencana.

“Mulai dari meningkatkan perekonomiannya, hingga meningkatkan pengetahuannya mengenai mitigasi bencana alam,” ujarnya.

Johanes memaparkan konsep dari rumah tahan gempa dan abu vulkanik, dibentuk dengan atap yang mampu menahan curahan abu vulkanik gunung berapi.

Selain itu, rumah harus berbahan material sederhana, kokoh, dan mudah dicari di daerah Semeru. “Hal ini dilakukan untuk mempermudah masyarakat desa dalam mengembangkan rumah mereka secara mandiri tanpa keahlian khusus,” jelasnya.

Rumah yang dikonsep oleh tim ITS ini dapat dibangun dengan cepat dan dapat dipindahkan secara mudah. Oleh karena itu, Bambang berpendapat bahwa bahan material yang digunakan harus ringan sehingga dapat dipindahkan dengan mudah dan tidak mudah roboh ketika terkena dampak gempa.

“Rumah tersebut sudah memiliki fasilitas sesuai standar rumah inti, yaitu terdapat kamar mandi, kamar tidur, maupun dapur,” bebernya.

Keunggulan lain, lanjut Adjie, rumah tersebut bersifat hybrid, yaitu bisa menjadi hunian sementara, kemudian dapat dikembangkan oleh masyarakat menjadi hunian tetap mereka.

“Rumah tersebut dapat direduksi seperti ruang studio maupun ditambah menjadi rumah yang lebih luas,” tambahnya.

Wahyu juga berharap bahwa pembangunan permukiman ini bisa ditambah dengan penanaman hutan bambu di sekitar kaki Gunung Semeru.

“Penanaman bambu ini dapat menjadi alarm bagi warga desa karena bambu akan mengeluarkan suara keras ketika terkena awan panas,” ungkapnya.

Diharapkan konsep ini dapat segera direalisasikan. Sehingga, rumah yang dibangun ke depannya bisa lebih ramah terhadap bencana alam, khususnya di daerah kaki Gunung Semeru.

“Kami berharap rumah tersebut bisa lebih resilien dan tidak mudah roboh,” tandas Bambang penuh harap. Red

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *